AIR HILANG ITU SEPERTI HANTU
Ini seperti diungkap Erlan Hidayat, 57 tahun, Nahkoda PAM JAYA sejak Mei 2015. Dua tahun memimpin perusahaan daerah air minum ini, dia menemukan banyak masalah, dari tingginya tingkat non-revenue water atau air yang di produksi tapi hilang dan tidak menjadi uang, hingga kualitas sumber daya manusia di sekitarnya. “Maaf saya agak kasar, tapi saya melihat tidak ada produktifitas yang baik (di PAM JAYA),” kata dia ketika berkunjung ke kantor Tempo, Jumat lalu.
Datang di temani Direktur teknik PAM JAYA Barce Simarmata dan Direktur umum PAM JAYA Untung Suryadi, Erlan bicara panjang lebar tentang strateginya menghadapi situasi dan kondisi di PAM JAYA, termasuk dalam melakukan transisi menuju 2023.
Berikut ini petikannya.
Bagaimana Jakarta memulai penswastaan air ini?
Penswastaan bermula dari pinjaman Bank Dunia 1977-1996 untuk membangun fasilitas pengolahan air. Dananya dari Inggris dan Prancis. Dikelola oleh swasta supaya bisa membayar pinjaman.
Apakah berhasil terbayar?
Berhasil. Pada 13 Desember 2015 PAM JAYA melunasi pinjamannya kepada pemerintah untuk Bank Dunia 100 persen tanpa potongan. Jumlahnya bersama bunga itu kira-kira 2,4 triliun.
Bagaimana dengan pengelolaannya sendiri di lapangan?
Sejak 1997 sampai hari ini, sebelah barat Jakarta, ini kita sebutnya Prancis, PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) mengelola hanya 9.025 liter per detik air dengan jumlah pelanggan 405 ribu. Sebelah timur, yang kita sebut daerah Inggris. Aetra mengelola 9.000 liter per detik air dengan pelanggan 406 ribu. Jumlahnya 18.025 liter per detik air yang tidak berubah sampai hari ini. Jadi, kalau Jakarta tumbuh pesat sejak 1997 dan beritanya selalu masyarakat kekurangan air, yaw ajar. Pada 2015 saja kami perlu 25 ribu liter per detik.
Bagaimana bisa kurang?
Kita memang kurang air. Sebanyak 81 persen pasokan air dari saluran Tarum Barat atau Jatiluhur, 15 persen datang dari Tangerang. Selebihnya dari sungai-sungai yang sudah kotor di Jakarta. Di Cilandak ada Kali Krukut, kemudian di Taman Kota ada Cengkareng Drain yang juga kami jadikan water treatment plant di sana. Tapi swasta juga memperbaiki kehilangan air dari 60 ke 40 persen. Dengan begitu, dia punya water swing yang bisa dia jual ke tempat lain. Tumbuhlah pelanggan.
Mengapa hanya jadi 40 persen, tidak bisa turun lagi?
Saya hitung biaya menurunkan non-revenue water pada 12 area yang paling parah kira-kira 2,6 triliun. Saya minta hitung lagi, berapa water saving yang bisa timbul? Jatuhnya harga air per meter kubik menjadi di atas 40 ribu. Jadi, inilah yang bisa kami lakukan di PAM JAYA: berusaha membuat air baru. Di Kanal Banjir Barat sedang berjalan bersama PT Jakarta Propertindo. Di Sungai Pesanggrahan juga akan kami buat.
Kenapa begitu mahal?
Jangan salah, NRW itu air yang di bikin tapi enggak jadi uang. Satu lagi, UFW. Unaccounted-for water, air yang betul-betul bagian dari NRW yang enggak bisa dipertanggung jawabkan. Hilang artinya bisa karena pipa bocor, masuk ke tanah, atau di curi. Tapi ada air lain yang penggunaannya legal, tapi enggak jadi uang. Misalnya, ada kebakaran di Tambora, lalu datang 20 unit mobil pemadam, pasang hidran, dan dia semprot. Memang dia pikir itu air PAM JAYA dan dia harus bayar? Misalnya lagi, instalasi pengolahan air Cilandak banjir. Kami kirim truk isi air ke tiap pelanggan yang telepon. Bayar? Tidak. Jadi kalau di bilang NRW 40 persen tinggi, jangan-jangan sepertiganya kehilangan resmi.
Yang tidak resmi itu tidak bisa ditangani?
Pipa kami tua. NRW juga berkaitan dengan tekanan: Tekanan air besar, kalau pipanya tidak bagus, air akan keluar juga dan terjadi kebocoran. Kalau tekanannya rendah, air luar malah masuk ke dalam pipa. Sampai ke pelanggan, mereka mengeluh kenapa airnya bau got? Siapa pun akan takut kalau dinilai dengan NRW. Saya mengibaratkan NRW itu hantu, karena kalau dicari susah setengah mati, tapi kalau NRW naik 1-2 persen, orang langsung takut karena dianggap tidak prudent.
Berapa nilai kerugian dari NRW 40 persen?
Rp. 87,5 miliar setahun. Itu tidak besar, tapi kalau tidak diperbaiki, ya salah.
Tingkat kebocoran efisien berapa?
Kementerian Dalam Negeri menetapkan 20 persen.
Kalau begitu, bagaimana dengan target akhir kontrak 2023?
Saya lakukan transaksi parsial, saya lihat sampai dengan akhir kontrak tinggal lima tahun lagi. Saya mentransmisikan periode 2023 ke sekarang., saya bilang persiapkan pembiayaan untuk itu. Saya minta ke swasta, kembalikan sumber daya air, kembalikan pelayanan pelanggan, lantas mereka dapat tugas mengelola distribusi dan produksi.
Belum berani mandiri? Masih tergantung operator swasta?
Di PAM JAYA itu sekitar 277 orang kerjanya sejak awal, istilahnya, tolak pinggang dan dapat uang. Terus mereka mau disuruh awasi pipa? Berantakan. Pelayanan akan terganggu. Ngapain saya ambil resiko itu? Kalau dibilang mahal, mahal kan bisa dihitung. Dua perusahaan ini menghasilkan omzet Rp. 2 triliun. Kalau dengan Palyja dan Aetra masih bisa bayar dividen, masak setelah dipindahkan ke saya enggak bisa bayar dividen?
Selama ini, selain pengawasan, apa yang dilakukan PAM JAYA?
Tolak pinggang, teriak sana-sini. Waktu saya masuk, sudah ada pelayanan PAM JAYA di Rumah Susun Muara Baru, Jakarta Utara. Ada 12 tower, itu water supply bukan dari Palyja, tapi PAM JAYA. Airnya dari Waduk Pluit. Waktu masuk, saya sampai menghitung sendiri berapa water balance untuk memenuhi warga disitu. Saya bukan orang yang harus menghitung itu, tapi PAM JAYA enggak menghitung sehingga tiap hari selalu kurang. Akhirnya, saya paksa memproduksi, saya kirim truk untuik memenuhi Rusun Muara Baru. Baru dua minggu, kami bisa memproduksi di natas 500 meter kubik sehari.
Apa masalah strategis pasca 2023 nanti?
Saya akan minta tarif diperbaiki. Masak ada sebuah perusahaan dari 2007-2017 tarifnya enggak berubah? Reaksi pertama masyarakat saya yakin tidak mau dinaikkan. Enggak apa-apa. Saya enggak mau naikkan harga buat yang miskin kok. Saya mau mengubah struktur subsidi silang sehingga yang kaya membayar lebih banyak. Kami juga harus berdialog dengan pemerintah pusat soal sumber air. Mengurus surat izin pengambilan dan pemanfaatan air (SIPA) seperti menunggu godot.
Jadi, setelah restrukturisasi akan diambil alih oleh PAM JAYA?
Arahnya ke situ. Formal MoU dengan Palyja sudah ditandatangani Oktober 2016,. Harusnya saya memperpanjangnya pada 25 April lalu, tapi Palyja menunda tanpa membatalkan restrukturisasi karena situasi politik DKI Jakarta. Kalau dengan Aetra belum saya MoU kan.
Sumber : Koran Tempo, Senin 12 Juni 2017 Hal.25
Tinggalkan Komentar